
Kiri-kanan: Pak Hasto (Wakil Ketua LPSK), Pak Semendawai (Ketua LPSK), dan saya. Batik oleh: Bilik Batik
Setiap diundang menjadi juri lomba menulis, saya gelisah. Saya sadar, menulis ada dalam lingkup kompetensi saya. Tapi juri? Sama sekali bukan.
Jika ditanya, saya lebih suka mengajar, memfasilitasi, dan melatih orang dari belum bisa menulis menjadi bisa, dari bisa menjadi lancar, dan lancar menjadi ahli. Saya senang, orang lain senang.
Tapi menjadi juri? Saya harus menjatuhkan keputusan bahwa ada tulisan yang bagus, dan layak menang; selebihnya masuk keranjang. Akhirnya ada sedikit yang senang, dan ada lebih banyak lagi yang murung. Saya keduanya: senang karena bikin senang, sekaligus sedih karena bikin murung.
Setiap hendak menimbang-nimbang naskah, membobot mana yang sesuai tema, yang idenya segar, yang bahasanya renyah, saya berdoa. Doa saya lugas: terangilah!
Di luar sana, peserta lomba juga berdoa. Doa mereka tak kalah gahar: menangkanlah!
Jadilah, lomba menulis bersaing dengan lomba doa. Tuhan pun jadi juri. Entah apa saja kriterianya sehingga ada yang dikabulkan ada yang dikembalikan. Ah, sok tahu saya. Jangan-jangan semua dikabulkan dalam rupanya masing-masing. Saya hanya juri, bukan Tuhan.
Siang ini, entah doa mana yang dikabulkan. Sebagai juri lomba menulis artikel yang diselenggarakan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan ABW (Mbak Wikan Widyastari Sarwoko), saya, Mas Erwan Widyarto, dan seorang juri lagi, akan umumkan siapa pemenangnya. Seharia Seharian kemarin kami sudah menimbang-nimbang sampai sepakat.
Doa saya, menang nggak menang, semoga setiap doa dikabulkan. Sebab, bukankah doa bukan untuk dipertandingkan?
@AAKuntoA