“Jika karena ini aku dikeluarkan dari Jesuit, aku akan tetap mempertahankan imamatku!”
Tegas. Tanpa ragu-ragu. Dan, tenang.
Saya bertanya padanya, “Mo, yang panjenengan sampaikan ini boleh aku share ke publik?”
Menatap mata saya, beliau langsung menjawab, “Boleh saja.”
Lalu dalam hati saya bertanya padanya, “Boleh saya simpan sebagai permenungan?”
Tentu ia tidak menjawab. Ia melanjutkan cerita, “Bapak Kardinal luar biasa. Ia teguh memegang rahasia jabatan. Kalau ditanya jawabannya ‘lupa’ atau ‘tidak tahu’.”
Romo ini sedang menceritakan Kardinal Darmaatmadja, mantan Uskup Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Agung Jakarta, yang kini tinggal di Wisma Emmaus, kompleks Pusat Spiritualitas Girisonta, tempat romo ini berkarya sekarang. “Bapak Kardinal sehat. Satu-satunya yang membahayakan kesehatannya adalah kebiasaan duduk berlama-lama membaca dan menulis. Ingatannya sangat baik.”
Ingatannya sangat baik tapi kok lupa atau tidak tahu ketika ditanya sesuatu? Ya itu tadi, menurut romo ini, karena Bapak Kardinal memegang teguh rahasia jabatan. Bapak Kardinal sudah meletakkan semua jabatan. Beliau letakkan pula ingatan-ingatan yang melekat pada jabatannya itu pada tempatnya.
Bapak Kardinal, imbuh romo yang saya kenal 27 tahun lalu ketika ia masih frater pamong di SMA Kolese de Britto, sejak pensiun dan tinggal di Wisma Emmaus, selalu mengatakan agar beliau diterima sebagai manusia biasa. Bahkan, romo ini menirukan Bapak Kardinal, “Aku dipanggil Darmo saja.” Tentu permintaan ini tidak ada yang menerima. Siapa pun tetap segan dan hormat pada beliau.
Termasuk Jesuit. Kata romo yang dulu terkenal dengan panggilan “kalkulus” ini, ketika ada pertemuan Jesuit, Bapak Kardinal selalu duduk di belakang. Tidak mau duduk di depan. Ketika diminta tanggapan atas pembicaraan forum, beliau menolak, “Dulu saya sudah terlalu banyak omong.”
Saatnya diam. Bapak Kardinal kini kembali merokok. Beda dengan rokoknya di masa muda, yang kemudian ia tinggalkan, rokok yang kini dihisapnya adalah rokok rempah. “Bapak Kardinal juga rutin sauna,” ujar romo yang komorbid diabetes ini tentang bagaimana Bapak Kardinal menjaga kesehatannya. Sauna yang dimaksud adalah tembakau rokok dilarutkan dalam air panas di ember lalu Bapak Kardinal menundukkan wajahnya di atas kepulan uap panas itu.
Segar, Bapak Kardinal menulis. Di usia 87 tahun kini, beliau sedang menulis tentang Pancasila. Fokusnya pada sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sambil menirukan ungkapan almarhum Romo Mangun, “Sebelum mempelajari surga dan malaikat, mbok ya belajar dulu menjadi manusia biasa,” romo ini melihat betapa Bapak Kardinal juga hendak menempatkan prinsip yang sama.
Romo yang doktor teologi lulusan Jerman ini cerita betapa pemikiran Bapak Kardinal masih jernih dan terang. Untuk itu, ia tidak mau mengubah naskah yang kepadanya Bapak Kardinal minta disunting. Sejauh perlu ia hanya membenahi tata bahasa.
Manusia, kata romo ini, merupakan figur sentral, baik sebagai pelaku maupun penerima perlakuan. Ketuhanan tidak bisa dicerabut dari kemanusiaan. Sebelum berbicara Tuhan, berbicaralah tentang manusia, kepada manusia, dan dengan cara manusia.
“Kitab suci itu narasi manusia. Disampaikan sebagai cerita, bukan dogma. Sayang, kini, pengajaran agama didominasi oleh dogma. Pemuka agama sibuk mengatur cara berpakaian, cara menyembah. Sibuk dengan hukum-hukum,” tukasnya.
Teologi yang ia pelajari dan ajarkan pun penuh dengan kesibukan itu. Dogmatis. “Makanya aku tidak mau jadi dosen. Terlalu banyak aturan yang tidak relevan dengan pengetahuan yang kuajarkan.” Ia mengaku beruntung ditugaskan sebagai pembimbing retret. Ia bisa menghimpun cerita dari peserta. Ia pun bisa mengajak peserta membangun cerita tentang tuhannya; bukan ia mendoktrinkan istilah-istilah ketuhanan.
Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang ia sebut, “Membuatku mengalami pencerahan dalam berteologi.” Fransiskus, dalam satu perkara yang pelik seputar tanggapan Gereja Katolik pada kaum LGBT, contohnya, membuat satu pernyataan yang mengguncang bukan hanya internal Katolik tapi juga publik luas, “Siapakah aku sehingga mengadilinya?”
“Narasi, Kun. Kita perlu menghidupkan narasi sehingga iman itu hidup,” ajaknya. Narasi itu mendatangi, mendengarkan, dan menemani. Tidak sekadar bicara benar-salah melainkan meronce kisahnya.
Tentang ini, ia teringat kejadian waktu bekerja di De Britto di zaman saya. Pagi-pagi benar ia berdiri di pintu gerbang sekolah menyambut datangnya siswa. Ia ingin memastikan siswa datang ke sekolah sesuai peraturan.
Memang, tak banyak peraturan di sekolah itu. Namun, setidaknya, ada satu peraturan yang ia ingin kawal, yakni “tidak boleh merokok di lingkungan sekolah”.
Sambil memeragakan adegan pagi itu, ia cerita, ada siswa kedapatan merokok saat memasuki lingkungan sekolah. Ia menghalau siswa itu. Siswa yang tidak ia sebutkan namanya itu berdiri tepat di gerbang sekolah. Menghadap ke luar, siswa itu menghisap dalam-dalam rokoknya. Mulut dan rokok di mulutnya ada garis luar gerbang sekolah.
Selesai merokok, siswa itu balik kanan, “Frater mau menghukum saya?”
Mengingat itu ia tertawa, “Anak itu nakal tapi kreatif. Kreativitas ini yang sekarang hilang. Atau jika ada tidak diapresiasi. Yang dilihat nakalnya saja.”
Saat itu, ketika ia masih bekerja secara dogmatis, menjadi pengawal aturan, ketika siswa menantang, “Silakan frater hukum saya sekarang,” ia langsung menyahut, “Push up 10 kali.” Saat itu ia meyakini, hukuman bisa membuat siswa kapok dan berubah seturut keinginan aturan. Kini, ia tidak meyakini dogma-dogma seperti itu. Pun tentang ketuhanan, baginya, Tuhan adalah bangunan narasi yang disusun manusia. Tuhan tidak sekonyong-konyong muncul dari ruang kosong.
Penasaran, karena kejadian itu berlangsung di era saya sekolah, saya bertanya, siapa nama siswa itu? Dengan singkat ia menjawab, “Aku lali.”
Lali? Lupa? Kalau siswa pintar, alim, dan penurut bolehlah dilupakan. Tapi masa siswa nakal dan kreatif dilupakan? Hmmm, saya tahu, ia sedang menirukan Bapak Kardinal yang ketika ditanyai sesuatu menyangkut rahasia jabatannya akan menjawab, “Saya lupa.”
Baiklah, kalau begitu, jika nanti ada yang bertanya, “Trus, apa gerangan yang menyebabkan romo ini bisa dikeluarkan dari Jesuit?” saya jawab, “Aku ora ngerti.”
Tegas. Tanpa ragu-ragu. Dan, tenang.