Blog

Kenalkan Profesi Jurnalis Sejak Dini

Delapan anak kelas lima dan enam SD Kanisius Kadirojo, Kalasan, Yogyakarta tersebut duduk manis di atas karpet merah di Perpustakaan Theresia, Jumat (16/10) pagi kemarin. Mereka antusias menyambut kelas jurnalistik yang akan saya bawakan.

Gita, Indah, Karis, Uno, Satria, Randy, Hensel, dan Gesang pun berkenalan secara unik. Mereka sebut nama dan kelas. Semua sudah tahu tentang itu. Begitu Gita bercerita tentang hobinya memasak dan merias wajah, tertegunlah teman lain. Mereka baru tahu. Begitu Satria memeragakan gaya dada dan katak, baru tahulah jika teman satu ini hobi berenang.

Ini kelas yang diselenggarakan oleh paguyuban wartawan Jogja “Wakijo” di sekolah-sekolah yang siswanya memerlukan pengetahuan dan kecakapan khusus seputar jurnalistik, menulis, dan public speaking. Kelas pro-bono ini kami dedikasikan untuk mengenalkan profesi kami secara dini kepada anak-anak.

Mendorong Jurnalisme Damai

Algoritma artificial intelligence sudah bisa membaca tone positif dan negatif. Tapi mesin ini belum bisa membaca metafora,” Nezar Patria menggelitik.

Anggota Dewan Pers ini bercerita tentang internet, media online, dan jurnalisme damai dua hari lalu di Satunama. Ia membeberkan fenomena pecinta dan pembenci Jokowi dan Prabowo pada pemilihan presiden 2014 lalu. Dengan kata kunci tertentu mudah mengelompokkan mereka.

Anomali terjadi pada Haji Lulung. Saat ia dibully di media sosial karena menyebut UPS sebagai USB, ternyata citranya justru terekam positif. Padahal banyak pernyataan yang menyindir anggota DPRD yang getol menyerang Ahok tersebut. “Ternyata mesin tidak mengenali kata-kata satir,” kekehnya. Dan Nezar juga sedang menyindir, publik yang tak bisa mengenali informasi-informasi satir di media, lebih-lebih media sosial, tak ubahnya mesin.

Menulis, Mimbar Kebebasan Akademik Guru

Evan Christoper Situmorang sedang jadi pembicaraan. Siswa SMP Flora, Pondok Ungu, Bekasi tersebut dikabarkan meninggal usai mengikuti MOS (masa orientasi siswa). Entah benar entah tidak, tragedi ini jadi pembicaraan publik.

Ada pihak yang menginginkan kegiatan semacam ini dihapuskan. Mereka berpendapat, tidak ada gunanya perpeloncoan semacam ini. Dimensi kekerasan ditengarai lebih dominan daripada dimensi edukasi.

Di seberang, ada pihak yang berpendapat bahwa MOS merupakan kegiatan penting untuk membekali siswa aspek-aspek yang diperlukan selama menempuh pendidikan di sekolah. Beragam argumentasi dilontarkan untuk memperkuat pendapat mereka.

BERNAS: Tepat Waktu

Perjalanan butuh pemaknaan. Pemaknaan ada pada perjuangan di atas kata-kata.

Ini malam pertama saya kerja larut malam di Harian Bernas, sejak koran ini dikelola Hebat Group, 20 Mei 2015. Kembali ke redaksi koran setelah hampir 20 tahun meninggalkannya membawa saya kepada sensasi lawas yang tak pernah saya lupakan rasanya.

Dulu, 1994-1996, saat masih menjadi siswa SMA Kolese de Britto, saya tergabung dalam redaksi Gema. Halaman 4 Bernas Minggu dipercayakan kepada kami, anak-anak SMA, untuk mengelolanya. Menyusun tema, merencanakan liputan, membagi tugas wawancara, menunjuk penanggung jawab laporan utama, memotret, menyunting, hingga mengawal penataletakan koran, dipercayakan kepada kami. Satu wartawan senior ditugaskan menjadi supervisor, yang mengawal dan membimbing.

Siang sekolah, sore liputan. Esoknya, pagi sekolah, malam menulis. Sebuah gudang di halaman belakang kantor media ini disulap sebagai markas kami. Dua komputer untuk kami pakai bergantian. Satu papan putih untuk kami menempelkan informasi, baik TOR, daftar pertanyaan wawancara, telpon narasumber, maupun sekadar janjian untuk nonton di bioskop.

Bekerja, Selalu Menanam

Ada yang sedang singgah di kepala. Tentang bekerja. 15 tahunan saya bekerja. Sejak di bangku sekolah, saya sudah […]