Blog

Studi Bahasa Alay

Bahasa Media Maya sebagai Kekuatan Transformasi Masyarakat Muda: Studi Bahasa Alay

Oleh AA Kunto A, praktisi media dan pemerhati youth culture. Alamat korespondensi: aakuntoa@solusiide.com

ABSTRAK Kemajuan teknologi komunikasi berupa telepon selular dan internet menghadirkan fenomena bahasa alay di kalangan orang muda. Selain menjadi fenomena bahasa, kehadiran bahasa alay juga menarik bagi kajian sosial. Muncul pertanyaan, apakah bahasa ini memiliki kekuatan transformasi bagi masyarakat, atau sekadar menjadi penanda pengakuan identitas pelakunya. Berbeda dengan bahasa gaul dan bahasa “walikan” yang memiliki pola pembentukan kata dan frasa, bahasa alay tidak.

KATA KUNCI transformasi masyarakat, bahasa alay, siasat identitas

  1. 1.      Pengantar

Orang muda selalu jadi sorotan. Pada mereka, tampaknya ada beban sejarah untuk memikul perubahan. Orang muda adalah pelaku perubahan, yang sekaligus sedang berubah. Agen perubahan sekaligus pesan perubahan itu sendiri.

Dalam hal berbahasa, demikian pula potretnya. Orang muda kerap tidak bisa dimengerti akibat cara berbahasa yang berbeda. Mereka lazim dituding sebagai perusak bahasa. Jika ada bencana komunikasi, vonis tanpa sidang langsung menghukum mereka.

Bagi masyarakat bahasa, bencana komunikasi itu kini hadir dalam rupa bahasa alay. Badainya bergemuruh di media maya, yakni SMS (short message service), BBM (blackberry messenger) dan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Linked In, dll. Bahasa tulis tersebut kerap muncul dalam status “Dinding: Apa yang Anda pikirkan?”, “Komentari”, atau judul pada “Pesan Baru”.

Incoming search terms:

  • pertanyaan tentang bahasa alay

Tanya Kenapa

Malu bertanya sesat di jalan. Tak bisa bertanya tak tahu jalan sesat.

Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini, saya ingin menghardik ruang imajinasi kita tentang “bertanya”. Sudahkah kita bertanya? Masih bisakah kita bertanya? Kita bertanya tentang apa saja?

Serta-merta, saya sodorkan dulu tujuan penulisan catatan ini: hapuskan Ujian Nasional (UN)! Tak perlu bertele-panjang alasan, semata karena lewat UN, pendidikan kita tak mendidik siswa bertanya. UN hanya mengizinkan siswa menjawab. Pun menjawab sesuai pilihan yang tersedia.

UN tak hanya mengerdilkan siswa, melainkan meniadakan kehadiran siswa sebagai pribadi yang luhur: manusia berakal-budi. Jahat sekali!