Blog

Percaya Perkara Besar dari Perkara Kecil

Belajar Jadi Pembicara BenarMenertawakan diri sendiri itu seru. Lebih seru ketimbang menertawakan orang lain. Tulisan ini untuk menertawakan diri saya sendiri. Begini kisahnya:

Cara belajar menjadi pembicara seminar, salah satunya, adalah dengan mengikuti seminar-seminar. Itu pula yang saya lakukan. Saya gemar mengikuti kelas-kelas seminar dan pelatihan, baik yang berbayar maupun gratisan. Baik skala lokal maupun interlokal. Baik menghadirkan pembicara level ibu kota maupun tetangga sebelah desa.

Tentu, pertama-tama, alasan keikutsertaan saya adalah materi yang bakal disampaikan menarik. Topik seputar pengembangan diri, investasi, teknologi informasi-komunikasi, ada di peringkat atas peminatan saya. Jika ada penawaran seminar itu, baik lewat pesan berantai, iklan di koran, maupun poster di tiang telepon, saya buru-buru mendaftar. Atau minimal lekas mencatat informasi penting tentangnya.

Mengapa Saya Tak Marah Dikambinghitamkan?

Tak Marah Jadi Kambing HiSejatinya, saya enggan menuliskan ini. Namun baiklah, saya tuliskan juga. Dan setelah saya timbang-timbang dari sisi mana saya menulisnya, inilah yang keputusan saya:

Waktu itu hujan rintik-rintik… *halah*

Terdengar kabar, akan ada peluncuran dbbc.space. Peluncuran diagendakan di sela seminar “Menjadi Pengusaha Tangguh” yang diadakan oleh DBBC (De Britto Business Community, 27 Februari 2016. DBBC, seperti namanya, adalah komunitas alumni SMA Kolese de Britto yang berkecimpung sebagai pengusaha, atau lagi pengen jadi pengusaha, lagi gundah antara jadi pengusaha atau tetap jadi karyawan, atau sedang berusaha punya komunitas.

Berani Berjarak dengan Diri Sendiri

Berani Berjarak dari Diri Sendiri

Bertemu Romo Bagyo SJ, 10 Februari 2015

Menilai diri sendiri, ternyata, tak lebih mudah dibandingkan menilai orang lain.

Siang itu pulang sekolah. Berjalan dengan kruk penyangga, saya menuju ke pastoran. Sesuai janji, saya hendak menghadap Rektor Kolese de Britto, Romo Y Subagyo SJ, untuk menempuh ujian susulan. Dua bulan saya mangkir dari sekolah gara-gara tersungkur di jalan raya, terbaring di rumah sakit, dan menjalani pemulihan kaki yang patah di rumah.

Itu Januari 1994. Minggu-minggu awal saya tempuh untuk melunasi ujian semester ganjil yang bolong. Juga ulangan harian yang nihil nilai. Berkat bantuan Pak Kristanto, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, saya diizinkan untuk menempuh ujian susulan. Kepada setiap guru mata pelajaran, saya harus menghadap sendiri untuk meminta waktu menempuh ujian susulan tersebut. Salah satunya menghadap Romo Bagyo—begitu kami memanggil beliau—untuk menempuh ujian “agama katolik”.

Menulis Bukan Hobi Saya

Menulis bukan hobi saya“Mas, ikut di kepengurusan asosiasi ya…,” ajak seorang teman pengusaha.

Siap, Pak. Apa kontribusi yang bisa saya berikan?

“Ya sesuai dengan pekerjaan Mas Kunto: humas,” terangnya.

Persisnya, humas seperti apakah yang dimaksud?

“Ya yang ngisi website, undang wartawan dalam konferensi pers, dan bikin press release,” lanjutnya.

Tidak. Saya menolak.

Hukuman Hidup untuk yang Nggak Ngapa-ngapain

Hukuman untuk yang nggak ngapa-ngapainKotak pesan saya bergetar. Usai menyantap pepaya, dan menyerutup teh tawar hangat, saya redakan getaran itu.

“Kun, kenapa dia kamu keluarkan dari grup Penulis DOKUDOKU.ID?”

Karena dia nggak ngapa-ngapain di grup kita.

“Silent reader, boleh kan?”

Boleh. Kan kalau lagi baca memang sebaiknya “silent”. Yang nggak boleh itu jadi silent writer.

“Lho, kalau lagi nulis kan sebaiknya juga silent?” balasnya, membalik becandaan saya.

Iya, yang penting ngirim tulisan. Nah, kalau ngirim tulisan aja nggak, artinya dia nggak ngapa-ngapain. Kalau nggak ngapa-ngapain ngapain dia di sini?