Blog

Akhir Batas, Inikah Berkah Covid-19?

Pandemi covid-19 membatasi pergerakan namun tak boleh membatasi kreativitas. Teknologi digital solusi belajar jarak jauh.

Pandemi covid-19 membatasi pergerakan namun tak boleh membatasi kreativitas. Teknologi digital solusi belajar jarak jauh.

Undangan menjadi fasilitator ekskul “creative writing” dari SMAK Penabur Bandar Lampung saya sambut dengan antusias. Bukan karena siap, melainkan karena tertantang untuk beradaptasi dengan kebiasaan belajar-mengajar jarak jauh.

Bukan. Saya tidak jadi guru yang menerangkan teori menulis. Saya tidak jadi mentor yang mencontohkan pengalaman menulis saya. Saya pun tidak jadi trainer yang melatih kecakapan menulis.

Tanpa Rokok: Bincang Bisnis Media

Ngopi bareng Fauzan Marassabesy

Ngopi bareng Fauzan Marassabesy

Sama-sama tinggal di Bali, sama-sama sering dapat tugas ke luar Bali. Maka, selagi tak ke mana-mana, berharga sekali perjumpaan seperti ini.

Ada banyak kesamaan cerita yang menautkan kami. Kami sama-sama pekerja media massa. Oh, lebih tepatnya, saya pernah, Mas Oezanee Marssy (Fauzan Marasabessy) masih aktif. Saya di redaksi, Mas Fauzan di bisnis. Ia sekarang Direktur Tribun Bali & Pos Kupang Kompas Gramedia.

Bagi-Bagi Ide, Mudahkan Tulisan Diingat

Story Writing yang Reflektif dan Menggerakkan

Story Writing yang Reflektif dan Menggerakkan

Tujuan pelatihan menulis (writing training) itu sederhana: peserta bisa menulis. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Pelatihan menulis yang berhasil adalah pelatihan yang membawa peserta “dari tidak bisa menjadi bisa”, “dari bisa menjadi biasa”, dan dari “biasa menjadi otomatis”.

Untuk itu, sebagai pelatih menulis, setiap kali mendapatkan undangan untuk mengisi pelatihan, saya selalu menerjemahkan tema yang diberikan supaya bisa saya konkretkan. Saya tidak mau mengisi pelatihan menulis dengan tujuan yang keliru: membuat peserta tahu teori menulis.

Percaya Perkara Besar dari Perkara Kecil

Belajar Jadi Pembicara BenarMenertawakan diri sendiri itu seru. Lebih seru ketimbang menertawakan orang lain. Tulisan ini untuk menertawakan diri saya sendiri. Begini kisahnya:

Cara belajar menjadi pembicara seminar, salah satunya, adalah dengan mengikuti seminar-seminar. Itu pula yang saya lakukan. Saya gemar mengikuti kelas-kelas seminar dan pelatihan, baik yang berbayar maupun gratisan. Baik skala lokal maupun interlokal. Baik menghadirkan pembicara level ibu kota maupun tetangga sebelah desa.

Tentu, pertama-tama, alasan keikutsertaan saya adalah materi yang bakal disampaikan menarik. Topik seputar pengembangan diri, investasi, teknologi informasi-komunikasi, ada di peringkat atas peminatan saya. Jika ada penawaran seminar itu, baik lewat pesan berantai, iklan di koran, maupun poster di tiang telepon, saya buru-buru mendaftar. Atau minimal lekas mencatat informasi penting tentangnya.

Pokemon Go vs Go Kepomen

Pokemon Go vs Go Kepomen

kiri-kanan: AA Kunto A, Irwan Kintoko, Dokter Agung

Alih-alih setuju atau menolak, saya memilih untuk memodifikasinya sebagai sarana belajar. Didukung oleh dua sahabat Dokter-penulis Stephanus Agung Kristianto dan jurnalis Heribertus Irwan Wahyu Kintoko, kami menggubah (bukan mengubah) Pokemon Go menjadi Kepomen Go. Bersyukur, Kepala SMP St Angela Bandung, Sr Yayah OSU mengizinkan 475 siswa-siswinya memainkan “permainan bergerak berbasis augmented reality” di lingkungan sekolah.

Dua hari, 21-22 Juli 2016, kami memainkannya dalam acara Journalistic Camp yang diikuti seluruh siswa kelas 7,8, dan 9, yang juga didampingi seluruh guru tersebut. Seru, anak-anak sangat antusias memainkannya. Padahal, baru sebagian yang sudah memainkannya sebelumnya. Alhasil, dalam dua hari saja seluruh siswa sudah kemasukan virus Pokemon Go.