“Jika karena ini aku dikeluarkan dari Jesuit, aku akan tetap mempertahankan imamatku!”
Tegas. Tanpa ragu-ragu. Dan, tenang.
CoachWriter | Trainer | Writer
“Jika karena ini aku dikeluarkan dari Jesuit, aku akan tetap mempertahankan imamatku!”
Tegas. Tanpa ragu-ragu. Dan, tenang.
Kisah penyintas Covid-19: kajian autoetnografis
Berapa lebar batas hidup dan mati? Berapa tebal batas pengharapan dan kepasrahan? Berapa luas batas amarah dan pengampunan?
Kini saya tahu jawabannya: xxvi+224 halaman buku “Memoar Covid-19″ karya Izak Y. M. Lattu.
Untuk anda yang pernah bergulat dengan Covid-19, baik sebagai pasien, keluarga pasien, tetangga pasien, tenaga medis, relawan/satgas, peneliti, atau apa pun, buku ini sangat layak anda baca. Isi buku ini komplet, berupa catatan penulis sebagai penyintas, kajian penulis sebagai intelektual/dosen, dan refleksi penulis sebagai pendeta dan tokoh lintas agama.
Ujian sekolah diundur, ujian kehidupan dimajukan. Inilah sebagian kisah, dan alumnae SMA Stella Duce 1 ini tokoh utamanya, hingga saya bisa sekolah di SMA Kolese de Britto.
Oktober 1965 jadwal ujian kelulusan SMP. Diundur. Pecah gestok (gerakan satu oktober); kudeta merangkak militer pada pemerintah berkuasa.
Ibu salah satu peserta ujian itu. Ia bersekolah di SMP Kanisius Ganjuran, Bantul. Masih sangat belia untuk memahami situasi. Radio transistor yang dibeli Mbah Kakung, ayah Ibu, baru layak dengar isi beritanya oleh dua kakak lelakinya: Kangmas Pertama dan Kangmas Kedua.
Tokjo kependekan dari Totok Mardjo; Totok anaké Mardjo. Totok panggilan dari Mas Hermawan Aswindarto Agustinus, Mardjo panggilan Pak Soemardjo Thomas, bapaknya.
Tokjo jadi pembeda dari Totok lain. Tokjo juga jadi penanda ialah satu-satunya di muka bumi yang empunya nama ini. Hanya dia Totok anak Mardjo. Silakan buktikan.
Ia pergi lintas kota memperkenalkan produk ini, termasuk menemui Rektor De Britto Rm Kuntoro Adi SJ dan berpesan, “Guru-guru tidak boleh sakit.”
Pagi ini sudah seperti yang kuimpi. Matahari belum meninggi tapi sinarnya sudah mendarat di jendela belakang kamar. Tidak kesiangan meski tak jua bangun pagi-pagi.
Kebiasaan lama, sebelum beranjak buka hape yang tertidur di samping kasur. Cek WA tiada pesan masuk. Tak ada warna hijau.
FB, IG, dan Twitter tak kubuka. Sejak semalam aplikas-aplikasi itu kunonaktifkan. Tepatnya aku “sign-out”. Semalam juga, pas pergantian hari, aku “left” dari semua grup WA, kecuali beberapa grup kerja dan grup keluarga inti.