Cerita berikut ini rasanya bukan monopoli saya. Anda mungkin pernah mendengarnya? Atau anda bagian dari cerita ini?
# Tiba-tiba berubah
N, teman semasa kuliah, mengirim pesan singkat yang sesingkat itu bikin lidah saya tercekat. Sudah sangat lama kami tidak berkabar. Terakhir, jika tak salah mengingat, saya kirim salam doa untuknya di hari kematian suaminya. Sejak itu, kami hanya saling tahu kabar lewat beranda media sosial. Ia banyak berbagi kisah lewat foto bagaimana membesarkan ketiga anak yang yatim sepeninggal ayahnya.
“Kun, apa kabar?” Saya selalu berpikir panjang bagaimana menjawab pertanyaan pendek yang dilontarkan oleh teman yang lama tak bertandang. Ia langsung menimpali chat-nya:
“Kun, aku diceritain anak sulungku tentang beberapa teman sekolahnya yang tiba-tiba menjadi yatim, piatu, atau sekaligus yatim-piatu selama pandemi ini. Anakku berpikir bagaimana membantu mereka supaya mereka tetap bisa sekolah.”
Andai almarhum punya polis asuransi jiwa, ia tidak akan meninggalkan masalah untuk istri dan anak-anaknya. Jika uang pertanggungannya besar, anak-anak cukup bekal untuk melanjutkan studinya.
Jeda sejenak pesan teksnya. Saya pun jeda menghela napas, menimbang-nimbang kata apa yang tepat untuk menanggapinya. N is typing… Saya menunggu.
“Temanku sesama orangtua murid juga ada yang curhat ke aku. Ia akan menemui pimpinan lembaga untuk mendapatkan keringanan biaya sekolah. Setahun lalu ia tertolong oleh program pengurangan biaya dari sekolah. Namun, tahun ini kebijakan itu dicabut.” Sekolah swasta; keberlangsungan hidup lembaga dikelola oleh yayasan.
Sekolah teman itu favorit bagi murid dan orangtua mereka. Favorit berarti identik dengan mahal. Bukan semata mahal biaya SPP-nya, melainkan mahal pula perjuangan untuk bisa lulus dari sekolah itu. Toh, semua itu ditebus demi harapan bekal yang diberikan sekolah tersebut lebih dari cukup untuk sukses di masa yang akan datang.
Lain hari, N memberi kabar, “Sudah beres, Kun. Paguyuban orangtua sudah membereskan.”
Syukurlah. Namun tetap tersisa pertanyaan dari saya, benar-benar bereskah? Atau sekadar pemberesan darurat?
# Terobosan solusi finansial
Sebagai agen asuransi, saya ingin sekali menanggapi keluhan itu begini, “Andai almarhum punya polis asuransi jiwa, ia tidak akan meninggalkan masalah untuk istri dan anak-anaknya. Jika uang pertanggungannya besar, anak-anak cukup bekal untuk melanjutkan studinya. Di pusara bapaknya, anak-anak itu akan berdoa sambil berucap terima kasih kepada mendiang.”
Saya menahan komentar itu. Persis, tidak pas jualan asuransi dalam situasi seperti itu. Ups, sejatinya memang tidak ada waktu yang pas untuk menawarkan produk asuransi.
Saya fokus pada saran bagaimana “sekali membantu bisa membantu untuk jangka lebih panjang”. Bukan setiap kali ada kebutuhan terus mengulurkan bantuan. Selain repot juga tidak bernilai edukasi finansial.
Maka, saya membungkam diri. Lain kali saya akan sampaikan itu ketika sedang tidak terjadi apa-apa. Akan saya sampaikan juga gagasan tentang bagaimana lembaga pendidikan bisa memanfaatkan skema finansial untuk menopang penyelenggaraan sekolah mereka dari hasil mengelola uang sekolah yang dibayarkan orangtua. Serahkan skema pembayaran uang sekolah ke lembaga finansial, lalu sekolah cukup berurusan dengan lembaga finansial tersebut. Orangtua dan sekolah tidak ada hubungan finansial secara langsung.
Itu nanti. Sekarang, berdasarkan cerita teman saya tersebut, yang melintas dalam pikiran saya adalah bagaimana solidaritas sesama orangtua tersebut bisa lebih lestari. Artinya, aksi tersebut tidak hanya respons sesaat melainkan berkesinambungan. Kan banyak instrumen keuangan yang bisa dipakai.
Misalkan, deposito. Taruh dana hasil “bantingan” ke instrumen ini. Bunganya diambil untuk bayar SPP. Lah, mesti gede dong depositonya? Jelas!
Saham bagaimana? Tentu bisa. Tapi, selain mesti tepat menempatkan, misalnya di saham-saham blue chip, mesti dipahami juga bahwa sebagai instrumen investasi, nilai saham tidak bisa dipastikan kenaikannya. Perlu strategi khusus untuk ini.
Ah, saya tidak sedang merekomendasikan penempatan dana tertentu. Saya fokus pada saran bagaimana “sekali membantu bisa membantu untuk jangka lebih panjang”. Bukan setiap kali ada kebutuhan terus mengulurkan bantuan. Selain repot juga tidak bernilai edukasi finansial.
# Naikkan kesadaran finansial
Pandemi Covid-19 telah memaksa kita berbenah. Setuju tidak setuju. Siap tidak siap.
Bahwa segala sesuatu bisa terjadi. Bahwa siapa pun bisa mengalami. Bahwa kapan pun perubahan bisa terjadi.
Terbukti, sendi finansial menopang sendi-sendi kehidupan yang lain. Begitu sendi ini goyang atau ambruk, roboh semua. Maka, selagi ada waktu, alangkah baik menata kembali sendi finansial.
Sekaligus, pandemi ini pun telah memaksa kita menemukan cara-cara baru mengatasi masalah. Atau, jika tidak baru, setidaknya kita sadar bahwa ada cara yang kita sudah tahu sebelumnya namun belum mau pakai karena merasa tidak perlu.
Solusi finansial salah satunya. Betapa pandemi ini memorakporandakan sendi-sendi finansial. Yang di-PHK atau ditinggal mati pasangan kehilangan penghasilan. Yang sakit menguras tabungan. Yang investasi dananya mandek. Yang berutang kehilangan muka akibat tak sanggup mengangsur.
Terbukti, sendi finansial menopang sendi-sendi kehidupan yang lain. Begitu sendi ini goyang atau ambruk, roboh semua. Maka, selagi ada waktu, alangkah baik menata kembali sendi finansial ini: cari pekerjaan atau bisnis yang memberi penghasilan lebih baik, menabung untuk dana darurat, berinvestasi jangka panjang, dan berasuransi untuk proteksi kerugian andai terjadi risiko pada diri kita.
@AAKuntoA | 13112021