Negara Tetap Harus Adil Terhadap Warga Negara yang Tidak Mau Berdigital

Ki-ka: Kani Raras, Anton Birowo, dan AA Kunto A

Ki-ka: Kani Raras, Anton Birowo, dan AA Kunto A

Digitalisasi sudah jadi ungkapan generik. Namun ada jebakan: bikin picik. Tetap kritis itu lebih baik.

Tempo hari saya diundang Seto Prayogi untuk berbicara di Bincang Tular Nalar #1. Bersama saya turut diundang Mas Mario Anton Birowo, pengajar ilmu komunikasi di Fisip UAJY. Ia juga sekaligus menjadi tuan rumah karena acara luring kami diadakan di selasar kampusnya di Babarsari, Yogyakarta.

Kani Raras, penyiar Swaragama FM, menjadi pemandu diskusi kami. Kami baru pertama kali bersua. Toh, ia cepat akrab. Apa karena penyiar?

Diskusi lengkap, terutama apa yang disampaikan Mas Anton, silakan simak di channel Youtube Tular Nalar. Ya, karena diskusi ini juga dilangsungkan secara daring-interaktif saat itu.

Ada beberapa pernyataan saya yang akan saya bagikan di sini.

1. Digital sebagai platform dan struktur berpikir

Saya memisahkan istilah “digital” ke dalam dua pengertian tersebut. Sebagai media digital, ia adalah pembaruan dari media konvensional (cetak). Beda platform saja. Ini hanya perkara produksi dan distribusi informasi. Sikapi biasa saja sebagai keniscayaan zaman. Pun, ikuti saja perkembangannya. Saya termasuk yang mengikuti, sejauh kemampuan dan kebutuhan saya; tidak menolaknya. Meski begitu, saya mengusulkan, “Selama kita masih manusia dan berkomunikasi dengan manusia, maka tetaplah membumi. Imbanglah dengan tetap bisa hidup tanpa perangkat dan platform digital.”

Sebagai struktur berpikir, digital merupakan pencerahan dari analog. Berpikir analog adalah berpikir “on-off”, “ya-tidak”, “maju-mundur”. Ia adalah pertandingan yang berhadap-hadapan untuk menghasilkan keputusan “menang-kalah”. Sedangkan digital adalah perlombaan. Nah loh, apa coba perbedaan pertandingan dan perlombaan? Silakan cari sendiri ya. Sebagai cara berpikir, digital itu naratif, di antara “on-off” itu ada gradasi berlapis-lapis, multiarah, multilevel, multidimensi. Berpikir digital menghasilkan keputusan “on-off karena ini-itu, untuk ini-itu, dengan konsekuensi ini-itu” sehingga keputusan yang diambil tidak bisa ditanggapi sebagai hitam-putih saja.

Apakah peserta daring bisa menyimak sekhidmat yang luring?

Apakah peserta daring bisa menyimak sekhidmat yang luring?

2. Lepaskan diri dari label lalu narasikan

Digital itu penyederhanaan, percepatan, dan pemudahan. Itu hasilnya. Sedangkan, proses untuk menghasilkan itu sedemikian rumit, kompleks, dan sangat detail. Problemnya, publik kita banyak yang terpesona oleh hasilnya. Mereka terbiasa mengonsumsi informasi pendek-pendek, dengan judul yang melulu menarik “click bait”, dengan pemahaman literasi yang sangat buruk.

Pekerja media, apa pun sebutannya, pun banyak yang terhisap arus ini. Mereka termakan oleh permainannya sendiri: suka bikin judul kosong asal heboh, miskin diksi, dan malas bercerita. Akibatnya, media digital riuh oleh informasi bohong, atau sekurang-kurangnya tidak jernih, dan dipenuhi oleh jargon-jargon bombastis.

Saya mengajak, lepaskan cara bermedia digital yang dangkal ini. Masuki kedalaman. Bernarasi. Cerita.

 

3. Sebaiknya berdigital meski tidak berdigital tetap layak hidup

Sekarang, digital jadi mitos baru. Seolah-olah semua hal harus didigitalkan, semua orang harus berdigital. Mereka yang tidak mau berdigital dianggap kuno.

Sebagai gagasan dan cara hidup, menurut saya, digital memang niscaya. Saya mengikuti, memakai, dan menikmatinya. Dengan daya saya, saya akan terus berusaha menaikkan kapasitas dan kecakapan supaya sekurang-kurangnya tidak ketinggalan gerbong digitalisasi.

Bersamaan, ada yang mengganjal dalam pikiran saya, bagaimana nasib mereka yang karena pilihan atau ketidaksanggupan beradaptasi tidak ikut di gerbong digitalisasi? Menurut saya, setidaknya negara tetap bertanggung jawab menjamin mereka tetap bisa hidup di negeri ini. Negara tetap harus adil dan hadir bagi setiap warga negara. Negara tetap harus memfasilitasi warga negara kuno ini. Negara tetap harus menyediakan perangkat kuno untuk bisa memberikan pelayanan kepada mereka.

Tidak hanya negara. Saya berharap, bukan menuntut kalau ini, pihak swasta non-negara, juga kita, pun sebaiknya tetap mau memberi ruang kepada mereka yang tidak bisa, tidak mampu, atau tidak mau beradaptasi pada peradaban digital. Bukan hanya memberi ruang, bahkan sebisa-bisa kita tetap menaruh hormat kepada mereka.

Sebab, digital ini hanya media, hanya sarana, dan hanya tren. Subjek pokoknya tetaplah manusia. Dan manusia tetap tidak boleh dihilangkan kemanusiaannya akibat label digital-non-digital.

Separator image Posted in Media.