Soal identitas Jawa-Cina kembali diperkarakan Donny Verdian di blog-nya. Entah gerangan apa yang menyulutnya mendudah bincangan lawas ini. Saya tak menemukan pemantik selain bahwa tulisan tersebut dihidangkan untuk bingkisan ulang tahun ke-63 almamaternya, SMA Kolese de Britto, yang juga almamater saya, yang belakangan sedang berkubang dalam sekam pertikaian.
Saya usai membaca kembali Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, 12 tahun sepeninggal penulisnya, ketika topik renta ini berkelebat di layar laptop. Pengakuan Pariyem bertutur tentang “dunia batin seorang wanita Jawa” sebagaimana termaktub di sub judul buku legendaris yang kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini. Prosa lirik ini pertama kali diterbitkan tahun 1981 oleh Penerbit Sinar Harapan, dan pertama kali saya baca sekira tahun 1998, saat-saat kuliah sosiologi di kampus Bulaksumur lebih banyak saya tinggalkan untuk ikut-ikutan demonstrasi sana-sini, usai wartawan Kompas Hariadi Saptono memperkenalkan saya pada sastrawan kelahiran Kadisobo yang setahun sesudahnya mati itu—dan saya belum jadi mengenalnya.