Blog

Mengapa Menulis Perlu Undur Diri?

170131 Undur DiriSetiap #tulisan menyimpan cerita. Cerita yang terutama adalah tentang penulisnya. Ya, di balik tulisan apa pun ada pergulatan #penulis. Jika kemudian terhidang tulisan lezat di layar bacamu, bisa jadi tulisan itu diolah dari dapur yang berantakan, yang kokinya berpeluh keringat dan bau kecut.

Maka, banyak penulis yang tak mengizinkan dapurnya dimasuki. Mereka tak mau bumbu-bumbu rahasianya terkuak. Mereka takut resepnya dijiplak. Atau, mereka malu ketahuan jorok. Jaim, jaga image.

Hantu Toko, Ketika Toko Buku Berhantu

Hantu Toko BukuSebagai generasi peralihan, buku cetak masih saya santap. Seperti belum makan nasi kalau belum membaca buku cetak. Teks digital yang berlimpah, meski lezat juga, tapi tak mengenyangkan. Dasar!

Maka, berkunjung ke toko buku, menjebol plastik pembungkus buku, menyibak halaman demi halaman, ‘menimbang’ bobot nilai dan berat fisik, membayar tunai di kasir, dan membungkus pulang dengan tas plastik tak ramah lingkungan adalah ritual yang jika tak ditempuh setiap bagiannya rasanya lebih berdosa daripada tidur di gereja tatkala kotbah pastor menjemukan. Ah, lebay!

Kali ini saya singgah ke Gramedia MBG, Bali. Bukan untuk ngecek buku karya saya atau terbitan penerbit saya–karena sudah empat tahun tak lagi menjual buku lewat toko buku, melainkan untuk membungkus buku bagus karya penulis dan penerbit tangguh. Masih banyakkah buku bagus? Banyak sih tidak. Ada.

Haji Ayam, Ketekunan Sang Pekerja

Haji Ayam Ketekunan Pekerja“Jangan menilai orang dari penampilannya.”

Hiks, untung pesan itu selalu menyala laksana alarm. Lebih-lebih ketika bersua dengan orang yang penampilannya kelewatan: kelewat parlente atau kelewat kere.

Seperti siang ini. Tatkala sedang singgah di suatu tempat, seorang bapak menghampiri saya. Ia bertanya beberapa hal, dan saya antusias menjawabnya.

Menulis Bukan Hobi Saya

Menulis bukan hobi saya“Mas, ikut di kepengurusan asosiasi ya…,” ajak seorang teman pengusaha.

Siap, Pak. Apa kontribusi yang bisa saya berikan?

“Ya sesuai dengan pekerjaan Mas Kunto: humas,” terangnya.

Persisnya, humas seperti apakah yang dimaksud?

“Ya yang ngisi website, undang wartawan dalam konferensi pers, dan bikin press release,” lanjutnya.

Tidak. Saya menolak.

Juri Doa: Siapa Pemenangnya?

IMG_20160805_094610

Kiri-kanan: Pak Hasto (Wakil Ketua LPSK), Pak Semendawai (Ketua LPSK), dan saya. Batik oleh: Bilik Batik

Setiap diundang menjadi juri lomba menulis, saya gelisah. Saya sadar, menulis ada dalam lingkup kompetensi saya. Tapi juri? Sama sekali bukan.

Jika ditanya, saya lebih suka mengajar, memfasilitasi, dan melatih orang dari belum bisa menulis menjadi bisa, dari bisa menjadi lancar, dan lancar menjadi ahli. Saya senang, orang lain senang.

Tapi menjadi juri? Saya harus menjatuhkan keputusan bahwa ada tulisan yang bagus, dan layak menang; selebihnya masuk keranjang. Akhirnya ada sedikit yang senang, dan ada lebih banyak lagi yang murung. Saya keduanya: senang karena bikin senang, sekaligus sedih karena bikin murung.