Perjumpaan dengan Jeremias Male mengoreksi kekaguman saya pada padang rumput savana di Sumba. Semula saya memujanya sebagai taburan keajaiban alam. Perlu pendobrak seperti Male.
Di rumahnya yang asri di Desa Weeluri, Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pagi itu, Male menyingkap rahasia tentang savana. Disuguhi kopi hitam, saya taklim mendengarkan.
Dikisahkan, sambil menunjuk ke bukit di seberang jalan depan rumah, 30 tahun lalu kampungnya masih dikelilingi savana. Padang rumput itu menghijau di punggung dan kaki bukit. Kuda-kuda berkawanan mencabik-cabik rumput menyantapnya. Gemuk-gemuk mereka.
Pemilik kuda tak perlu menjaganya. Cukup menunggu di rumah, kala senja kuda itu tahu diri pulang. Bukan ke kandang tapi ke pekarangan. Kuda tak perlu dikandangkan karena kuda tak akan lari. Mereka seolah tahu kepada tuan mana mengabdi. Mereka juga tahu, pada saatnya mereka akan jadi belis (semacam mahar) untuk meminang gadis pujaan anak tuan. Atau mereka akan disembelih, bersama kerbau, sapi, dan babi, dalam pesta adat Marapu yang mereka junjung tinggi.