Blog

Jebakan Popularitas

Menjelang tahun politik 2014, kita disuguhi kehebohan soal siapa yang layak menjadi pemimpin. Heboh itu lebih-lebih berkat membanjirnya informasi dari lembaga-lembaga riset. Hasil-hasil riset itu mempercepat imajinasi publik akan hadirnya pemimpin yang mereka harapkan.

Tulisan ini hendak mengulas secara sederhana jebakan realitas figur pemimpin dan ekpektasi publik tentang kepemimpinan. Perlu saya tekankan: jebakan. Besar harapan, kita cermat dan jernih dalam mempertimbangkan dan memilih.

Jebakan Popularitas

Penting kita bedakan pengertian popularitas dan populisme supaya kita paham benar mana yang sejatinya lebih pas dibutuhkan.

Popularitas lebih menekankan pada faktor keterkenalan, baik positif maupun negatif. Respon yang melekat pada popularitas adalah sanjungan jika menyangkut hal positif dan cacian jika menyangkut hal negatif. Ukuran popularitas adalah seberapa banyak orang/merek/institusi disebut, diperbincangkan, dipertukarceritakan. Semakin banyak dan sering disebut, tercapailah ukuran popularitas itu.

Konsultan Pencitraan

Justru karena dibicarakan, bahkan dicibir, peran pencitraan dalam penampilan seorang pemimpin tampak begitu penting. Berarti ada sesuatu di balik pembicaraan tersebut.

Beberapa tokoh yang kerap diserang dengan olok-olok pencitraan adalah SBY, DI, dan Jokowi. Sengaja tidak saya tuliskan nama panjang mereka karena inisial atau nama cekak itu sudah melekat pada citra mereka. Pengandaiannya jelas: publik tahu siapa yang dimaksud.

Yang teranyar, dalam beberapa hari ini, pencitraan SBY kembali jadi pembicaraan gara-gara TB Silalahi, mantan tim suksesnya, menguak kabar bahwa perlu mendatangkan ahli bahasa tubuh dari Inggris untuk menata penampilan sang calon presiden waktu itu. Buahnya, sampai saat ini kita menjumpai SBY sebagai sosok yang tampak berwibawa, dengan gerak tangan yang teratur, senyum yang terjaga, dan tuturan yang terkontrol. Faktanya, publik negeri ini menerima polesan tersebut.