Guru menulis saya, sebut saja namanya Gulis, mewasiatkan kepada saya bagaimana membuat tulisan yang dibaca. “Jangan menulis supaya disukai pembaca. Pembaca yang menyukai tulisanmu tak menambahkan apa pun pada karyamu.”
Belum sempat mengangguk atau menggeleng, Gulis hengkang dari kursi goyangnya. Itu perjumpaan terakhir saya dengan punggungnya. Selepas bayangan ia melayang dari pandangan. Hanya tinggal dalam kenangan.
Entah, ia sudah masih hidup atau sudah muksa. Yang terang, ujarannya kerap menghantui. “Tulisanmu nggak berarti apa-apa bagi yang menyukainya. Namun, ia akan mengganggu mereka yang tak menyukainya,” kuping saya mendenging tiap mengingatnya.