Juga di hari Kamis Putih, sepuluh tahun yang lalu, saya menempuh ujian skripsi di Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Skripsi saya berjudul “Pendidikan sebagai Ide Pembebasan: Refleksi Sosial atas Pedagogy of Hope Paulo Freire”. Petang, di kantor salah seorang dosen penguji, berpakaian hitam-hitam, saya mempertahankan karya ilmiah bermetode kualitatif yang saya riset setahun dan saya tulis dua minggu tersebut.
Minat saya pada dunia pendidikan rupanya tidak muncul begitu saja. Juga tidak berhenti sampai di situ. Setidaknya, entah kapan persisnya, pemantik perhatian saya pada dunia pendidikan adalah potongan kliping resensi buku bertanggal Minggu, 9 Juni 1985. Tak jelas koran mana yang menerbitkan. Yang terang, tinjauan buku kali itu tentang Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire dengan penerbit LP3ES Jakarta.
Subversif sekali judul buku itu. Penasaran, saya memburunya di perpustakaan. Dapat! Dan memang benar, subversif sekali! Setting pendidikan di Amerika Latin tahun 1960-an, dengan pengalaman batin Freire yang lahir dari keluarga miskin, membantu saya memvisualkan betapa dramatik konteks penulisan buku tersebut. Realitas “kaum rombeng dari bumi” yang dialami Freire memicu tekad spritualnya untuk bangkit melawan kemiskinan. Jalan yang ia tempuh adalah pendidikan. Ia menyebarkan anti-virus buta huruf. Pikirnya, hanya dengan melek huruf, kemiskinan bisa diberantas. Orang melek huruf mengerti apa yang terjadi pada mereka, memahami peluang yang sama untuk mengubah nasib, dan mengerti langkah apa yang mesti ditapaki untuk keluar dari belenggu kemiskinan.